Kotagede sekarang lebih terkenal dengan kerajinan peraknya. Selain itu, Kotagede merupakan bagian dari Jogja yang penuh nilai sejarah karena di daerah ini pernah berdiri kerajaan Mataram Islam pada abad XVI-XVII, sebelum akhirnya berpindah ke Kertosuro tahun 1614. Mblusuk ke daerah ini kita bisa melihat peninggalan-peninggalan Mataram yang didirikan tahun 1575 oleh Panembahan Senopati.

Di antara beberapa peninggalan Mataram Islam di Kotagede adalah situs Watu Gilang dan Watu Gatheng. Lokasinya kira-kira 1 km di sebelah selatan pasar dengan menyusuri jalan sisi barat, atau sekitar 300 m di selatan makam.

Watu Gilang merupakan batu hitam berbentuk persegi, berukuran 2 m di setiap sisinya, tingginya 30 cm dan terletak di sebuah ruangan yang sengaja dibuat untuk untuk melindungi batu ini. Oleh penduduk, batu ini dipercaya dulunya merupakan dampar atau singgasana Panembahan Senopati. Pada sisi timur batu ini terdapat kikisan seperti bekas bekas pukulan sesuatu. Dulu batu ini terletak di Pendopo, tapi peninggalan Pendopo sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya kerajaan Mataram ini.

di bangunan kecil ini tersimpan watu gilang, watu gatheng dan watu genthong (kotagedekini.wordpress.com)


Ruangan tempat Watu Gilang ini berukuran 3×3 m di tengah pelataran yang dulunya berupa keraton. Dalam ruangan ini juga terdapat tiga batu kuning berbentuk bola yang biasa disebut Watu Gatheng (batu yang mangagumkan) dengan ukuran berbeda-beda.. Ketiga batu ini terletak di sebelah selatan pintu masuk. Di sisi pintu sebelah utara terdapat gentong dari batu hitam setinggi 80 cm dengan beberapa cekungan sebesar jari tangan di sisi depannya.


Kisah Watu Gilang

Watu Gilang dan Watu Gatheng memiliki kisah sendiri-sendiri di balik keberadaannya. Konon Ki Ageng Mangir, tokoh pemberontak kerajaan yang terpikat oleh putri raja bernama Ni Pembayun dan kemudian menikahinya. Ni Pembayun mengajak Ki Ageng Mangir menghadap ayahnya untuk merestui pernikahan mereka. Awalnya Mangir menolak karena bagaimanapun ia adalah buronan dan pengkhianat bagi Panembahan Senopati. tapi di sisi lain Panembahan Senopati adalah mertuanya, tapi demi cintanya pada Ni Pembayun akhirnya Mangir memenuhi permintaan istrinya untuk menghadap Panembahan Senopati.

Sesampai di Keraton Kotagede, pengawal melrang Mangir masuk karena masih membawa senjatanya (tombak ki baru klinthing). atas dasar etika kerajaan yang melarang membawa senjata bila menghadap raja, maka Mangir meletakkan senjatanya dan menghadap mertuanya untuk meminta restu. Namun karena sang raja begitu membencinya, seketika itu juga kepala Mangir dibenturkan ke dampar tempat duduknya hingga meninggal seketika. Dan itulah mengapa pada sisi timur Watu Gilang terdapat cekungan. Itu adalah bekas benturan kepala Mangir.

watu gilang yang konon dulunya adalah dampar raja (pesonakotagede.com)

Karena status Mangir sebagai pemberontak sekaligus menantu kerajaan, maka ia dikubur di makam keluarga raja dengan setengah badan di luar tembok makam dan setengah badan di dalam. Sementara Ni Pembayun sendiri setelah meninggal malah tidak dimakamkan di makam Kotagede. Menurut cerita, sejak meninggalnya Mangir, Ni Pembayun kemudian dititipkan pada Ki Ageng Karanglo dan dimakamkan di Karang Turi, 2 km sebelah timur Kotagede.


Kisah Watu Gatheng

Konon Panembahan Senopati juga memiliki putra hasil perkawinannya dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, yang bernama Raden Ronggo. Dikisahkan anak ini nakal dan memiliki keampuhan yang diwariskan dari ibunya. Salah satu mainannya adalah tiga batu berbentuk bola. Ketiganya sangat berat untuk ukuran manusia, tapi Raden ronggo justru bermain dengan batu ini untuk dilempar-lemparkan. Ia pernah memberitahu pamannya, Ki Juru Mertani (yang oleh Panembahan Senopati diangkat sebagai Patih Mandaraka) untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Tapi Raden Ronggo justru melubangi gentong batu milik pamannya.

watu gatheng, konon dulunya adalah mainan raden ronggo (pesonakotagede.com)

watu genthong, konon dulunya sebagai tempat air milik patih mandaraka (pesonakotagede.com)

Lebih dari itu, pada suatu saat ketika kesal pada pamannya, ia bersumpah jika pamannya mempunyai anak, maka anak itu akan kithing (cacat), ternyata sumpahnya menjadi kenyataan, Patih Mandaraka mempunyai anak yang tangannya kithing dan diberi julukan Ki Ageng Kithing.

Tak hanya pamannya yang menemui kesulitan dengan Raden Ronggo, ayahnya pun demikian. Suatu hari ia bermain-main dengan dengan tangan ayahnya. Tanpa sengaja ia menyakiti tangan ayahnya dan seketika itu juga secara refleks Panembahan Senopati mengibaskan tangannya hingga Raden Ronggo terlempar jauh keluar menembus tembok keraton. Reruntuhan tembok itu masih terlihat di gang sentosa, 100 m di sebelah utara Watu Gatheng. Penduduk sekitar menyebutnya mbedahan.

Begitulah kira-kira kisah yang ada di balik Watu Gilang, Watu Gatheng dan gentong batu yang saat ini masih bisa dilihat di Kotagede. Benar atau tidaknya aku juga tak tahu, karena cerita ini beredar dari mulut ke mulut oleh orangtua-orangtua terdahulu atau oleh para guru sejarah.

*sumber : situs-situs marjinal jogja, cerita guru sejarah

2 comments:

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.