Hari ke-16 telah berlalu, semua pasukan telah kembali ke perkemahannya untuk istirahat dan tidur. Di perkemahan Kaurava, semua terbayang pada Radheya dan berharap bisa memenangkan pertempuran ini keesokan harinya. Dalam keheningan malam ketika semuanya telah terlelap, Radheya pergi ke kemah Duryodhana untuk membicarakan strategi besok. Duryodhana sangat mengharapkan dirinya untuk bisa memenangkan perang, setelah Bhisma dan Drona gagal. Duryodhana menyambut sahabatnya dengan hangat

"Tuanku besok aku akan bertarung dengan Arjuna, tidak ada seorang pun yang bisa mencegah pertempuran kami, aku akan menang atau aku akan tewas di tangan Arjuna. Percayalah, aku tidak akan kembali bila tidak memastikan hal itu terjadi."

"Sahabatku, aku akan memberi tahumu keunggulan kami masing-masing. Kami sama-sama memiliki astra dewata yang dapat kami kendalikan, dalam hal berkah aku jauh lebih unggul dari Arjuna, aku tahu hal itu dan tidak sedang menyombongkan diri seperti yang dibilang oleh Kripa. Aku memiliki busur bernama Vijaya, pemberian guruku Bhargava. Busur ini dibuat oleh Visvakarma untuk Indra dan Indra memberikannya pada guruku. Busur ini lebih unggul dari Gandiva."

"Sekarang dengarkanlah keunggulan Arjuna, ia memiliki Gandiva dan sepasang tempat anak panah yang tidak bisa habis, ia memiliki Kereta Perang Dewata yang ditarik oleh kuda-kuda putih, Krishna adalah kusir yang mengendalikannya, dengan panji kereta yang disemayami oleh Hanuman, itulah sebabnya ia lebih unggul daripada aku."

"Aku lebih unggul dari Arjuna, tapi tidak memiliki kusir yang baik. Jika Salya yang menjadi kusirku, maka besok aku akan mempersembahkan dunia di bawah kakimu. Salya sangat ahli dalam mengendarai kereta, bahkan ia lebih unggul daripada Krishna. Sahabatku, aku serahkan padamu untuk meminta Salya agar bersedia menjadi kusirku. Aku tahu, kau bisa melakukannya karena tiada orang yang bisa menolak keinginanmu. Kau bisa membuat siapapun untuk melakukan apapun untukmu, kau mempunyai bakat untuk itu, Rajaku."

Radheya tersenyum sangat manis, Duryodhana memeluknya dengan penuh cinta. Duryodhana tidak tahu bahwa itulah malam terakhir yang akan ia lewati bersama sahabatnya, tetapi Radheya tahu, ia sudah siap dengan hal itu.

"Aku akan melakukannya Radheya, aku akan membujuk Salya agar bersedia menjadi kusirmu. Ia tidak akan bisa menolak. Sekarang pergi dan beristirahatlah, kau akan menghadapi hari yang sangat sulit serta melelahkan besok."

Radheya pergi dari tenda Duryodhana, namun hatinya tetap tertinggal di tenda itu. Pada pintu masuk tenda, Radheya berdiri dan melihat ke arah Duryodhana, ia juga melihat Radheya kembali. Radheya berlari ke arah sahabatnya dan memeluk Duryodhana sekali lagi. Duryodhana tersentuh dengan cinta sahabatnya ini, mereka menangis bersama dalam keharuan dan kemudian pergi untuk berpisah.

Radheya berbaring di tendanya, ia berusaha untuk tidur, namun rasa kantuk tak juga kunjung datang. Jantungnya berdegup kencang, matanya memerah seperti bara api. Besok ia akan mati, namun sangat sulit untuk menenangkan dirinya, bagaimana ia bisa tenang. Besok akan terjadi pertarungan. Ya, bukan pertarungan biasa, besok ia harus bertarung melawan adiknya dan berusaha sebaik mungkin untuk membunuh Arjuna. Jika semuanya berjalan biasa, maka akan ada kesempatan untuk membunuh Arjuna, namun bagaimana ia bisa mengharapkan sesuatu hal yang biasa? Apakah hidupnya selama ini berjalan seperti biasa? Lalu, kenapa ia berharap di akhir hidupnya dapat berjalan dengan biasa?

Arjuna akan menang, Radheya tahu akan hal itu. Dengan Krishna duduk di sana memegang tali kendali, bagaimana mungkin ia berharap bisa mengalahkan Arjuna? Salya tidak akan pernah menjadi seperti Krishna terhadap Arjuna, ada ikatan yang tidak ia miliki dengan Salya seperti halnya ikatan Arjuna dengan Krishna, bahkan Salya tidak menyukainya.

Tapi semua itu tidak penting lagi bagi Radheya, ia tidak peduli lagi. Besok ia akan tetap berusaha bertarung sebaik mungkin, ia tahu pada akhirnya ia akan mati, begitu juga Duryodhana. Dan Yudhishthira akan memerintah dunia setelah mengalami berbagai penderitaan.

Radheya teringat kepada ibunya Radha, ibu yang sangat bangga pada dirinya, namun ia juga tidak bisa melupakan tatapan redup mata Kunti serta sentuhannya yang lembut. Ia memikirkan waktu sesaat bersamanya, menangis dalam pangkuan dan Kunti mengusap air matanya. Semua itu kini tidak ada gunanya, meski terus mencoba, ia tidak bisa menghapus kenangan masa lalu yang memenuhi benaknya dan membuyarkan kosentrasinya.

Masih segar dalam ingatannya, serangga yang telah melukai pahanya saat ia berada di asrama Sang Guru. Luka itu masih membekas di pahanya dan juga dalam pikirannya. Bhargava telah mengutuknya bahwa ia akan melupakan mantra Astra yang paling ia butuhkan. Ia akan membutuhkannya besok dan ia yakin tidak akan pernah lupa. Kutukan Brahmana yang mengingatkanya bahwa roda keretanya akan terpuruk dan bahkan ia akan terbunuh dalam keadaan yang tidak siap. Rupanya dadu yang dulu dimainkan di Sabha Jayanta kini telah menimpanya.

Tapi Radheya tidak peduli, ia akan bahagia menyambut kematiannya setelah menjalani hidup yang penuh derita. Ia tidak akan perlu lagi melakukan sesuatu hal yang keji, melakukan hal hal yang mengerikan seperti membunuh seorang anak kecil (Abhimanyu) dengan cara yang kejam, anak dari saudaranya! Ia tidak akan perlu menghina saudara-saudaranya lagi, menyentuh dengan ujung busur atau mengucapkan kata kejam yang menyakitkan apalagi melihat air mata penuh perasaan terhina. Ia teringat pada Nakula hari itu. Tidaklah mudah baginya untuk menghina Nakula, akan jauh lebih mudah untuk membunuhnya. Begitu pun ketika ia bertarung dengan Yudhishthira dan menghinanya juga, sehingga Kunti tahu bahwa Radheya telah menepati janjinya, bahwa ia telah mengampuni semua Pandava dan tidak membunuh mereka sebagai anugerah yang ia berikan pada Ibunya.

Sangatlah sulit bagi Radheya untuk melihat rasa cinta dan sayang dari tatapan Krishna, ia tahu dirinya sangat menyayayngi Krishna dan Krishna pun tahu rasa sayang Radheya, namun perasaan cinta yang ia miliki hanyalah untuk Duryodhana, sahabat, saudara, sekaligus rajanya.


Malam pun berlalu dengan perlahan, tetapi Radheya tetaplah terjaga sepanjang malam. Ia begitu senang memiliki waktu untuk memikirkan kehidupannya, melihat dengan jelas benang-benang yang merajut jalan hidupnya sebelum akhirnya ia membuang satu-persatu dan melupakannya, itulah malam terakhir Radheya. Malam yang dibayangi masa lalu...

***

*diambil dari Karna Parva
*video: adegan ketika Duryodhana mengangkat Radheya menjadi Raja Anga

2 comments:

Shalluvia. 2010-2024 Copyright. All rights reserved. Designed by Mesha Christina.